Pengendalian Gratifikasi

Dalam materi pembelajaran Pengendalian Gratifikasi berisi pembahasan mengenai terminologi sistem pengendalian, manfaat pengendalian Gratifikasi, serta pedoman bagi instansi untuk melaksanakan pengendalian Gratifikasi, termasuk tahapan dalam pelaksanaan pengendalian gratifikasi. Adapun cakupan materi yang akan dipelajari pada modul ini, yaitu:

  1. Pembangunan Sistem Pengendalian Gratifikasi
  2. Dasar Hukum
  3. Perangkat Sistem Pengendalian Gratifikasi
  4. Manfaat Sistem Pengendalian Gratifikasi
  5. Ilustrasi Management Tools
  6. Pejabat Publik dan Pengendalian Gratifikasi
  7. Pernyataan Komitmen Pengendalian Gratifikasi

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Pengendalian Gratifikasi, klik link di bawah ini untuk mempelajarinya dalam bentuk modul e-Learning interaktif atau pada teks di bawah ini.

Modul 5


 


A. Pembangunan Sistem Pengendalian Gratifikasi

Tingkat keberhasilan penegakan aturan gratifikasi tidak terlepas dari peran KLOP. KLOP sebagai lembaga publik memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan berintegritas. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat integritas dari lingkungan KLOP adalah terimplementasinya Sistem Pengendalian Gratifikasi.

Kembali ke atas


 


B. Dasar Hukum

Rujukan aturan yang melandasi KLOP dalam upaya membentuk lingkungan berintegritas dengan membangun Sistem Pengendalian Gratifikasi adalah:

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
  4. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup;
  5. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi dan Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah;
  6. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

Kembali ke atas


 


C. Perangkat Sistem Pengendalian Gratifikasi

Sebagaimana layaknya suatu sistem, yang merupakan integrasi dari perangkat-perangkat yang bekerja secara dinamis, maka Sistem Pengendalian Gratifikasi juga memerlukan dukungan perangkat dan kegiatan agar dapat berjalan dengan baik. Perangkat dan kegiatan minimum yang diperlukan adalah:

1. Aturan etika memberi dan menerima gratifikasi

Aturan etika memberi dan menerima Gratifikasi diperlukan untuk memberikan landasan atau standar perilaku bagi pegawai di instansi dalam menghadapi praktik penerimaan dan pemberian gratifikasi. Dalam aturan ini, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Kewajiban menolak gratifikasi yang dianggap suap;
  2. Kewajiban pelaporan atas penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi;
  3. Bentuk gratifikasi yang wajib dilaporkan;
  4. Bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan;
  5. Sikap pegawai negeri/penyelenggara negara apabila menghadapi praktik penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi;
  6. Pengelolaan penerimaan dan pemberian gratifikasi yang terkait kedinasan;
  7. Mekanisme pelaporan penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi;
  8. Tugas dan wewenang pelaksana fungsi pengendalian gratifikasi;
  9. Perlindungan pelapor gratifikasi.

Aturan tersebut secara ideal dituangkan dalam keputusan pimpinan instansi/lembaga, dan memiliki keberlakuan yang mengikat kepada setiap individu yang berada dalam lingkungan instansi/lembaga, termasuk pegawai tidak tetap/honorer maupun pihak ketiga yang mengikat kerja sama atau melaksanakan pekerjaan dengan instansi/lembaga.

2. Pelaksana fungsi pengendalian gratifikasi

Pelaksana fungsi pengendalian gratifikasi ini memiliki tugas dan kewenangan sekurang- kurangnya sebagai berikut:

  1. Menerima, mereviu dan mengadministrasikan laporan penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi dari pegawai negeri/penyelenggara negara di lingkungan instansi;
  2. Menyalurkan laporan penerimaan, penolakan dan pemberian Gratifikasi kepada KPK untuk dilakukan analisis dan penetapan status kepemilikan gratifikasinya oleh KPK;
  3. Menyampaikan hasil pengelolaan laporan gratifikasi dan usulan kebijakan pengendalian gratifikasi kepada pimpinan instansi;
  4. Mengkoordinasikan kegiatan diseminasi aturan etika gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal instansi.
    Bentuk organisasi dari pelaksana fungsi ini disesuaikan dengan kebutuhan aktual instansi dalam proses pembangunan Sistem Pengendalian Gratifikasi. Pembentukan unit khusus, satuan tugas maupun tim, diperkenankan untuk mengakomodir kebutuhan pelaksanaan fungsi pengendalian gratifikasi. Yang perlu diperhatikan di sini adalah personil yang ditugaskan untuk melaksanakan fungsi ini, memiliki standar integritas, kemampuan telaah dan analisis untuk memberikan usulan perbaikan sistem pengendalian gratifikasi di lingkungan instansinya.

Untuk melaksanakan tugasnya, satuan pelaksana fungsi ini perlu dilengkapi dengan kewenangan formil dari pimpinan instansi antara lain:

  1. Surat Keputusan Pembentukan dan Susunan Organisasi Pelaksana Fungsi Pengendalian Gratifikasi.
  2. Surat Keputusan terkait Tata Kerja Pelaksana Fungsi Pengendalian Gratifikasi.
    Dalam konteks pengelolaan laporan penerimaan, penolakan dan pemberian gratifikasi, fokus pelaksanaan fungsi tersebut dititikberatkan pada pengelolaan laporan gratifikasi yang terkait kedinasan. Sedangkan untuk penerimaan lain diluar gratifikasi yang terkait kedinasan, lebih dikedepankan pelaksanaan fungsi administratif sebagai penghubung antara pegawai negeri/penyelenggara negara dengan KPK dalam konteks penyaluran laporan gratifikasi.

Dengan memandang filosofi dari gratifikasi terkait kedinasan, maka penentuan pemanfaatan dari gratifikasi yang diterima oleh instansi berada dalam lingkup kewenangan instansi. Dalam penentuan pemanfaatan gratifikasi yang diterima oleh instansi tersebut, perlu disusun kriteria yang menitikberatkan pada tujuan:

  1. Memutus benturan kepentingan, pilih kasih (favoritisme) maupun korupsi invensif antara individu pegawai negeri/penyelenggara negara yang secara fisik menerima gratifikasi terkait kedinasan dengan pihak pemberi.
  2. Mengedepankan pemanfaatan atas gratifikasi terkait kedinasan yang diterima untuk kepentingan instansi, seperti menjadi aset instansi (dicatatkan sesuai ketentuan yang berlaku) atau disumbangkan kepada lembaga sosial;
  3. Membangun persepsi positif dan kepercayaan masyarakat bahwa penerimaan yang terjadi tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pegawai negeri/penyelenggara negara dan tidak menempatkan pegawai negeri/penyelenggara negara sebagai pihak yang tersandera dengan kepentingan si pemberi.

3. Komitmen Pimpinan

Komitmen pimpinan KLOP yang diwujudkan dengan contoh nyata pelaporan gratifikasi, pengalokasian anggaran, sumber daya manusia, kewenangan kepada unit pengendalian gratifikasi serta penegakan reward and punishment atas aturan etika memberi dan menerima gratifikasi, merupakan syarat utama agar aturan gratifikasi dapat lebih terimplementasi secara berkesinambungan. Kolaborasi dari perangkat dan komitmen pimpinan, diharapkan dapat mengoptimalkan implementasi aturan gratifikasi sehingga pengelolaannya dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi para pegawai, instansi dan pemangku kepentingan yang lain.

4. Pelaksanaan diseminasi aturan etika gratifikasi

Diseminasi atas aturan etika gratifikasi sangat diperlukan untuk dilaksanakan untuk menjamin standar pemahaman yang sama bagi seluruh pemangku kepentingan. Diseminasi ini akan berjalan lebih efektif apabila dilakukan setelah perangkat sebagaimana disampaikan di atas telah tersedia.

5. Monitor dan evaluasi atas pelaksanaan Sistem Pengendalian Gratifikasi

Untuk menjaga standar kualitas dan menjamin bahwa sistem pengendalian gratifikasi yang dibangun tetap dapat menjawab kondisi aktual yang ada, diperlukan kegiatan monitor dan evaluasi secara berkala atas penerapan sistem tersebut. Monitor dan evaluasi atas prosedur penerimaan dan pengelolaan laporan gratifikasi, pemutakhiran aturan dan kebijakan terkait etika gratifikasi serta metode dan target pelaksanaan diseminasi, merupakan obyek yang perlu dilakukan.

Kembali ke atas


 


D. Manfaat Sistem Pengendalian Gratifikasi

Pembangunan sistem pengendalian gratifikasi di KLOP tidak hanya dipandang sebagai wujud pemenuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku, namun juga diharapkan dapat memberikan competitive value bagi KLOP itu sendiri. Dengan adanya sistem pengendalian gratifikasi di KLOP, akan semakin mendorong terbentuknya pegawai-pegawai yang berintegritas yang diwujudkan dengan kesadaran untuk menolak menerima gratifikasi dalam pemberian layanan kepada masyarakat serta selalu melaporkan penerimaan gratifikasi yang terpaksa diterimanya. Sejalan dengan hal tersebut, peningkatan kesadaran aturan gratifikasi di lingkungannya, akan berdampak pada terbentuknya citra positif KLOP di mata masyarakat, karena masyarakat akan menikmati langsung layanan yang terbebas dari suap, pemerasan, gratifikasi maupun uang pelicin.

Manfaat bagi KLOP tidak hanya berhenti sampai di situ. Pengadministrasian dan pengolahan data pelaporan gratifikasi, dapat digunakan oleh KLOP sebagai dasar untuk menentukan arah kebijakan dan strategi pengendalian gratifikasi di lingkungannya. Baik untuk menentukan perlu tidaknya penyempurnaan aturan etika yang ada, strategi penentuan obyek dan metode diseminasi aturan etika kepada pihak internal maupun eksternal yang terkait, sampai sebagai dasar untuk menentukan sanksi administratif bagi pihak internal maupun eksternal yang terbukti melanggar. Sebagai contoh penentuan sanksi bagi pihak eksternal adalah dengan dimasukkannya pihak eksternal yang seringkali memberi gratifikasi, ke dalam negative list, sehingga pihak tersebut tidak menjadi prioritas dalam melakukan pekerjaan ataupun bekerja sama dengan KLOP. Lebih jauh lagi, selain sebagai pagar bagi KLOP untuk tidak menerima gratifikasi, keberadaan sistem pengendalian gratifikasi juga dapat dimanfaatkan sebagai pagar bagi KLOP untuk menolak setiap permintaan yang tidak sah dari pihak eksternal kepada setiap individu di dalam KLOP.

Kembali ke atas


 


E. Ilustrasi Management Tools

Ilustrasi Management Tools

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Data penerimaan dan penolakan gratifikasi yang dilakukan oleh Pegawai/Pejabat dalam KLOP menjadi informasi penting yang dapat digunakan oleh KLOP sebagai dasar pengambilan keputusan pimpinan (Management tools). Berikut ini contoh ilustrasi penggunaan data penerimaan gratifikasi sebagai alat manajemen dalam penentuan kebijakan dan strategi pengendalian:

Kembali ke atas


 


F. Pejabat Publik dan Pengendalian Gratifikasi

Peraturan KPK Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi selain mengatur kewajiban pegawai negeri dan penyelenggara Negara juga memasukan unsur Pejabat Publik sebagai subjek hukum yang diharapkan berperan dalam menjalankan sistem pengendalian gratifikasi.

Pada Pasal 1 angka 7, Pejabat Publik didefenisikan meliputi:

  1. setiap orang yang menjalankan jabatan legislatif, yudikatif atau eksekutif yang ditunjuk atau dipilih secara tetap atau sementara, dibayar atau tidak dibayar;
  2. setiap orang yang menjalankan fungsi publik dan menduduki jabatan tertentu pada suatu badan publik atau perusahaan publik atau suatu korporasi yang melakukan pelayanan publik; atau
  3. setiap orang yang ditetapkan sebagai pejabat publik dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Landasan diaturnya defenisi dan ruang lingkup Pejabat Publik pada Peraturan KPK didasarkan pada ketentuan dalam United Nation Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Semangat terpenting perlunya pejabat publik dijangkau dalam konsep pengendalian gratifikasi berangkat dari kesadaran bahwa subjek hukum penerima gratifikasi saat ini bukan hanya pegawai negeri dan penyelenggara negara, melainkan dapat juga orang-orang yang secara formil tidak termasuk kualifikasi pegawai negeri atau penyelenggara negara akan tetapi menjalankan fungsi publik, baik di sebuah badan publik ataupun korporasi yang melakukan pelayanan publik. Hal ini perlu diatur karena perbuatan dari orang yang menjalankan fungsi publik akan berakibat pada publik atau masyarakat yang dilayaninya. Mempertimbangkan akibat buruk gratifikasi yang dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas penerima gratifikasi, terutama jika dilihat dari aspek objektifitas dan pengaruh dari adanya vested interest pada penerima, maka sudah sepatutnya pejabat publik juga diatur sebagai subjek hukum terkait pengendalian gratifikasi ini.

Mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, defenisi pelayanan publik adalah: “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. Fungsi pelayanan publik ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga negara, namun juga dijalankan oleh korporasi, lembaga independen ataupun badan hukum lainnya yang dibentuk semata-mata untuk pelayanan publik. Lembaga tersebut dapat bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perairan dan sejenisnya.

Seperti diungkapkan di atas, konsep inti dari pejabat publik ini selain mencakup pada orang- orang yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan juga meliputi orang yang menjalankan fungsi publik dan menduduki jabatan tertentu pada badan publik. Contoh-contoh badan publik tersebut diantaranya badan hukum yang mendapatkan bantuan dari keuangan negara/keuangan daerah, partai politik, organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lainnya.

Terkait dengan penerapan sistem pengendalian gratifikasi, Peraturan KPK 02/2014 ini diatur pada Pasal 15, yaitu:

(1) Instansi Pejabat Publik selain Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat membentuk Unit Pengendali Gratifikasi di lingkungan kerja masing-masing.
(2) Unit Pengendali Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja dengan berpedoman pada Peraturan ini.
Mencermati ketentuan Pasal 15 di atas, untuk memaksimalkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi, khususnya aspek pengendalian gratifikasi, instansi Pejabat Publik dapat membentuk Unit Pengendali Gratifikasi yang juga diikuti dengan pengaturan lebih lanjut di lingkungan Instansi Pejabat Publik tersebut.

Kembali ke atas

 


 


G. Pernyataan Komitmen Pengendalian Gratifikasi

1. Komitmen Pengendalian Gratifikasi PT Taspen
2. Komitmen Pengendalian Gratifikasi Pemerintah Provinsi Banten
3. Komitmen Pengendalian Gratifikasi Pemerintah Provinsi Riau

 

Kembali ke atas