Pelaporan Gratifikasi

Dalam materi pembelajaran Pelaporan Gratifikasi berisi pembahasan mengenai kewajiban Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk melaporkan Gratifikasi yang diterimanya, serta bagaimana cara menyampaikan laporan tersebut kepada KPK. Adapun cakupan materi yang akan dipelajari pada modul ini, yaitu:

Logo GOL KPK
  1. Penolakan Gratifikasi yang Dianggap Suap pada Kesempatan Pertama
  2. Prinsip Penolakan Gratifikasi
  3. Kewajiban Hukum Melaporkan Gratifikasi yang Dianggap Suap
  4. Mekanisme Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi
  5. Manfaat Pelaporan Gratifikasi Bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara
  6. Perlindungan Terhadap Pelapor Gratifikasi
  7. Unduh Formulir Pelaporan Gratifikasi

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Pelaporan Gratifikasi, klik link di bawah ini untuk mempelajarinya dalam bentuk modul e-Learning interaktif atau pada teks di bawah ini.

Modul 4


 


A. Penolakan Gratifikasi yang Dianggap Suap pada Kesempatan Pertama

Gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang diberikan dari pihak yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan pegawai negeri/penyelenggara negara, dan pemberian tersebut dilarang oleh aturan yang berlaku, merupakan jenis gratifikasi yang harus ditolak oleh setiap pegawai negeri/penyelenggara negara.

Penolakan atas penerimaan gratifikasi tersebut, perlu dilaporkan oleh pegawai negeri/penyelenggara negara ke instansinya atau KPK. Pencatatan atau pelaporan atas penolakan dapat berguna sebagai alat pemutus keterkaitan antara pegawai negeri/penyelenggara negara dengan pihak pemberi. Dalam hal pihak pemberi dinilai telah memenuhi unsur suap dan diproses sesuai hukum yang berlaku, maka keberadaan pencatatan atas penolakan penerimaan menjadi penting untuk memperlihatkan adanya itikad baik dari pegawai negeri/penyelenggara negara dalam menangkal upaya suap kepada dirinya. Dari aspek pemberi, pihak pemberi tetap dapat dijerat meskipun pegawai negeri menolak atau tidak menerima.

Kembali ke atas


 


B. Prinsip Penolakan Gratifikasi

Gratifikasi yang ditolak dalam konteks ini adalah gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diserahkan secara langsung. Penolakan atas penerimaan gratifikasi tersebut, perlu dilaporkan oleh pegawai negeri/penyelenggara negara ke UPG di instansi masing-masing. Pencatatan atau pelaporan atas penolakan dapat berguna sebagai alat pemutus konflik kepentingan antara pegawai negeri/penyelenggara negara dengan pihak pemberi. Dalam hal pihak pemberi dinilai telah memenuhi unsur suap dan diproses sesuai hukum yang berlaku, maka keberadaan pencatatan atas penolakan penerimaan menjadi penting untuk memperlihatkan adanya itikad baik dari pegawai negeri/penyelenggara negara dalam menangkal upaya suap kepada dirinya. Dari aspek pemberi, pihak pemberi tetap dapat dijerat pasal pemberian suap meskipun pegawai negeri menolak atau tidak menerima.
Pengaturan mekanisme pelaporan atas penolakan gratifikasi tidaklah dilihat dari aspek yang memberatkan pelapor. Karena latar belakang mekanisme pelaporan ini perlu didisain sedemikian rupa dalam rangka perlindungan terhadap pelapor.

Simulasi menarik yang dapat dikemukakan adalah ketika Pejabat A yang memiliki integritas menolak pemberian dari seorang kurir pengusaha X, namun ternyata uang yang ditolak oleh Pejabat A ternyata tidak pernah dikembalikan oleh kurir pada pengusaha X, sehingga Pengusaha X mencatat dan berasumsi Pejabat A telah menerima uangnya. Hal ini menjadi masalah ketika di suatu hari Pengusaha X dijerat aturan pidana dan kemudian ditemukan catatan aliran dana terhadap Pejabat A, maka jika Pejabat A sejak awal melaporkan penolakan gratifikasi yang dilakukannya secara internal, dan kemudian hal tersebut dicatat oleh UPG, tentu saja pencatatan tersebut dapat menjadi bukti yang melindungi Pejabat A, karena ia telah menolak gratifikasi tersebut sejak awal. Akan berbeda halnya jika Pejabat A tidak pernah melapor dan tidak memiliki bukti apapun untuk menyangkal bahwa ia telah menerima sejumlah uang dari Pengusaha X melalui kurir.

Prinsip penolakan ini berada pada ranah aturan disiplin, sehingga jika ketentuan ini dilanggar perlu diatur bentuk sanksi administratif yang dapat dijatuhkan pada pihak yang melanggar. Hal ini merupakan penegasan dari larangan menerima gratifikasi yang dianggap suap. Ketentuan ini diharapkan sejalan dengan prinsip law as tool of social engineering, dimana pegawai negeri dan penyelenggara negara yang selama ini cenderung permisif perlu mengubah kebiasaan tersebut dan merombak cara berpikir, sehingga muncul sikap yang tegas untuk menolak setiap gratifikasi yang dianggap suap yang diberikan secara langsung padanya.

Akan tetapi, terdapat kondisi-kondisi tertentu ketika gratifikasi tidak dapat ditolak. Hal inilah yang perlu diatur sebagai pengecualian dari kewajiban menolak atau larangan menerima gratifikasi. Berikut adalah beberapa kondisi pengecualian, maka gratifikasi tidak wajib ditolak, yaitu:

a. Gratifikasi tidak diterima secara langsung;
b. Tidak diketahuinya pemberi gratifikasi;
c. Penerima ragu dengan kualifikasi gratifikasi yang diterima.
d. Adanya kondisi tertentu yang tidak mungkin ditolak, seperti: dapat mengakibatkan rusaknya hubungan baik institusi, membahayakan diri sendiri/karier penerima/ada ancaman lain,
e. Gratifikasi diberikan dalam kegiatan adat istiadat, kegiatan yang sesuai dengan tradisi yang luhur dan upacara keagamaan.

Dalam hal gratifikasi yang memenuhi empat kondisi pengecualian di atas, maka gratifikasi tersebut dapat diterima dan kemudian wajib dilaporkan pada KPK atau kepada KPK melalui masing-masing Unit Pengendali Gratifikasi. Perbedaan perlakuan terhadap penolakan, laporan penolakan dan laporan penerimaan gratifikasi dalam keadaan khusus tersebut perlu diatur secara tegas pada Peraturan Pemerintah yang akan disusun.

Bagan perlakuan terhadap gratifikasi dengan pengaturan kewajiban penolakan dapat divisualisasikan seperti di bawah ini:
Bagan: Perlakuan terhadap Gratifikasi Perlakuan terhadap Gratifikasi

PENJELASAN UMUM:

  1. Gratifikasi yang dianggap suap yang diberikan secara langsung pada pegawai negeri/penyelenggara negara wajib ditolak/dilarang diterima. Proses lanjutan dari penolakan adalah pelaporan secara internal pada UPG di masing-masing instansi;
  2. Jika memenuhi kondisi pengecualian sebagaimana diuraikan di atas, maka gratifikasi tersebut dapat diterima dengan ketentuan lanjutan sesuai dengan Pasal 12B, 12C UU Tipikor dan Pasal 16 UU KPK;
  3. Gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri/penyelenggara negara wajib dilaporkan pada KPK, atau dilaporkan pada KPK melalui UPG;
  4. Dari gratifikasi yang dilaporkan, KPK akan melakukan analisis dan kemudian menetapkan status kepemilikan gratifikasi menjadi miliki negara atau menjadi milik penerima;
  5. Pada bagian ini sesuai dengan negative list yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah nantinya, maka terdapat sejumlah bentuk penerimaan yang tidak wajib dilaporkan pada KPK. Penerimaan tersebut adalah penerimaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12B UU Tipikor;
  6. Selain ketentuan UU Tipikor dan UU KPK yang mewajibkan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 12B UU Tipikor dilaporkan pada KPK, untuk gratifikasi yang terkait dengan kedinasan yang sesungguhnya tidak termasuk pada Pasal 12B UU Tipikor cukup dilaporkan ke instansi masing-masing.
  7. Bentuk-bentuk gratifikasi kedinasan ini dapat diatur secara khusus di instansi masing-masing.

Kembali ke atas


 


C. Kewajiban Hukum Melaporkan Gratifikasi yang Dianggap Suap

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur kewajiban pegawai negeri/penyelenggara negara untuk melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 Hari Kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi. Pada Penjelasan Pasal 16 tersebut gratifikasi yang wajib dilaporkan di sini adalah gratifikasi yang terdapat pada Pasal 12B Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Bentuk-bentuk gratifikasi tersebut diuraikan pada bagian selanjutnya.
Jika dikaitkan dengan aspek penindakan, risiko yang akan didapatkan penerima gratifikasi adalah penerimaan tersebut dianggap suap. Hal ini menjadi pendirian hakim dalam kasus korupsi dengan terdakwa Gayus HP Tambunan dan Dhana Widyatmika. Dalam hal penerima tidak melaporkan pada jangka waktu tertentu, maka penerimaan tersebut dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan.

Melihat risiko dari aspek penindakan tersebut, pegawai negeri/penyelenggara negara perlu menjalankan prinsip kehati-hatian dalam penerimaan gratifikasi. Jika gratifikasi tersebut diduga terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima, maka gratifikasi tersebut wajib dilaporkan. Jika tidak, terdapat risiko pidana seperti diatur pada Pasal 12B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kembali ke atas



D. Mekanisme Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi

Mekanisme Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi

  1. Pegawai negeri/penyelenggara negara melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK dengan mengisi formulir secara lengkap sebelum 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima oleh penerima gratifikasi, atau kepada KPK melalui UPG sebelum 7 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima.
    Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kelengkapan data perlu dicantumkan kontak pelapor berupa nomor telepon, nomor telepon kantor, alamat email dan nomor komunikasi lain yang bisa dihubungi mengingat adanya proses klarifikasi dan keterbatasan waktu pemrosesan laporan yang ditentukan oleh undang-undang.
    Penyampaian formulir dapat disampaikan secara langsung kepada KPK atau melalui UPG melalui pos, e-mail, atau website KPK/pelaporan online.
  2. UPG atau Tim/Satuan Tugas yang ditunjuk wajib meneruskan laporan gratifikasi kepada KPK dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak laporan gratifikasi diterima oleh UPG atau Tim/Satuan Tugas.
  3. KPK menetapkan status penerimaan gratifikasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak laporan gratifikasi diterima oleh KPK secara lengkap.
  4. KPK melakukan penanganan laporan gratifikasi yang meliputi: (1) verifikasi atas kelengkapan laporan gratifikasi; (2) permintaan data dan keterangan kepada pihak terkait; (3) analisis atas penerimaan gratifikasi; dan (4) penetapan status kepemilikan gratifikasi.
  5. Dalam hal KPK menetapkan gratifikasi menjadi milik penerima gratifikasi, KPK menyampaikan Surat Keputusan kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan, yang dapat disampaikan melalui sarana elektronik dan non-elektronik.
  6. Dalam hal KPK menetapkan gratifikasi menjadi milik negara, penerima gratifikasi menyerahkan gratifikasi yang diterimanya paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
  7. Penyerahan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
    a. apabila gratifikasi dalam bentuk uang maka penerima gratifikasi menyetorkan ke rekening KPK dan selanjutnya menyampaikan bukti penyetoran kepada KPK;
    b. apabila gratifikasi dalam bentuk barang maka penerima gratifikasi menyerahkan kepada:
    i. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau Kantor Wilayah/Perwakilan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di tempat barang berada menyampaikan bukti penyerahan barang kepada KPK; atau
    ii. KPK yang untuk selanjutnya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan menyampaikan bukti penyerahan barang kepada Penerima gratifikasi.
  8. Dalam hal gratifikasi berbentuk barang, KPK dapat meminta penerima Gratifikasi untuk menyerahkan uang sebagai kompensasi atas barang yang diterimanya sebesar nilai yang tercantum dalam Surat Keputusan Pimpinan dengan tata cara penyerahan sebagaimana diatur pada ayat (5) huruf a.

Kembali ke atas


 


E. Manfaat Pelaporan Gratifikasi Bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara

Penolakan dan pelaporan gratifikasi memberikan sejumlah manfaat bagi penyelenggara Negara:

1. Pelaporan Gratifikasi Melepaskan Ancaman Hukuman terhadap Penerima.

Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, ancaman pidana untuk penerimaan gratifikasi yang dianggap suap adalah pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun dan denda Rp200.000.000,00 sampai dengan Rp1.000.000.000,00. Akan tetapi, penerima gratifikasi dapat dibebaskan dari hukuman atau ancaman pidana tersebut jika melaporkan penerimaan paling lama 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima.
Dengan jaminan pembebasan hukuman dengan melaporkan gratifikasi akan memberikan rasa aman bagi pegawai negeri/penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

2. Pelaporan Gratifikasi Memutus Konflik Kepentingan.

Dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka risiko terganggunya independensi, objektivitas dan imparsialitas pegawai negeri/penyelenggara negara dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas di kemudian hari yang mungkin terkait dengan kepentingan pemberi dapat dieliminir. Pada konteks ini, pelaporan gratifikasi ditempatkan sebagai alat untuk mencegah terjadinya perbuatan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana yang mungkin dikehendaki oleh pihak pemberi gratifikasi.
Definisi konflik kepentingan disini adalah: situasi dimana seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

3. Cerminan Integritas Individu.

Pelaporan atas penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri/penyelenggara negara merupakan salah satu indikator tingkat integritas. Semakin tinggi tingkat integritas seorang pegawai negeri/penyelenggara negara, semakin tinggi tingkat kehati-hatian dan kesadaran yang dimiliki oleh pegawai negeri/penyelenggara negara, yang diwujudkan dalam bentuk penolakan maupun pelaporan gratifikasi yang terpaksa diterima.
4. Self-assessment bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk Melaporkan Penerimaan Gratifikasi.

Ketika pegawai negeri/penyelenggara negara menghadapi kondisi adanya pemberian gratifikasi terhadap dirinya, ia dapat mengajukan pertanyaan reflektif sebagai metode untuk melakukan self assessment. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat membantu pegawai negeri/penyelenggara negara untuk menentukan apakah gratifikasi tersebut merupakan gratifikasi terlarang atau tidak.

Di bawah ini sejumlah contoh pertanyaan reflektif yang dapat diajukan:

1. Apakah ada aturan atau kode etik yang melarang penerimaan tersebut?
2. Apakah ada kegiatan kedinasan yang dilakukan bersama-sama dengan pihak pemberi saat itu?
3. Apakah publikasi atas penerimaan tersebut akan membuat penerima merasa malu atau apakah pemberian dilakukan secara terbuka atau tertutup (sembunyi-sembunyi)?
4. Apakah setidaknya patut diduga seseorang memberikan gratifikasi karena pemberi berpikir bahwa anda memiliki jabatan di sebuah instansi, terkait pengambilan keputusan, pelayanan atau perizinan?
5. Apakah nilai pemberian gratifikasi tersebut wajar atau tidak?
6. Apakah nilai moral pribadi anda memperbolehkan sebuah gratifikasi diterima?

Apabila jawaban dari salah satu dari pertanyaan reflektif di atas adalah “Ya”, maka penerimaan tersebut sebaiknya ditolak, atau jika terpaksa diterima segera dilaporkan.

Kembali ke atas



F. Perlindungan Terhadap Pelapor Gratifikasi

Pelapor gratifikasi mempunyai hak untuk diberikan perlindungan secara hukum. Menurut Pasal 15 UU KPK, KPK wajib memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang telah menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Dalam konteks ini, pelapor gratifikasi dapat akan dibutuhkan keterangannya sebagai saksi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi.

Misalnya, ketua dan anggota tim di sebuah instansi diduga menerima gratifikasi terkait pelaksanaan tugasnya, akan tetapi, hanya satu orang pelapor yang menyampaikan laporan gratifikasi. Dengan laporan tersebut, secara tidak langsung dapat membuka informasi terkait dugaan penerimaan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara lainnya, dan dugaan tindak pidana korupsi lainnya. Kondisi inilah yang selanjutnya dapat memosisikan pelapor sekaligus sebagai whistleblower yang berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak lainnya.

Pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang bersifat fisik ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karir pelapor dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada KPK atau LPSK. Instansi/Lembaga Pemerintah disarankan untuk menyediakan mekanisme perlindungan khususnya ancaman terhadap karir atau aspek administrasi kepegawaian lainnya. Bentuk perlindungan tersebut dapat diatur dalam peraturan internal.

Kembali ke atas