Dunia Usaha & Peran Serta Masyarakat

Dalam materi pembelajaran Dunia Usaha dan Peran Serta Masyarakat berisi pembahasan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan korporasi dalam mendukung pelaksanaan pengendalian Gratifikasi. Selain itu juga terdapat daftar pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai self assesment bagi masyarakat untuk menentukan apakah pemberian yang akan diberikan termasuk Gratifikasi yang dianggap suap/tidak. Adapun cakupan materi yang akan dipelajari pada modul ini, yaitu:

A. Definisi Masyarakat dan Korporasi
B. Definisi Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
C. Surat Edaran KPK kepada Sektor Swasta
D. Bentuk Nyata Peran Masyarakat
E. Bentuk Nyata Peran Sektor Swasta/Korporasi
F. Manfaat Bagi Masyarakat
G. Manfaat Swasta/Korporasi
H. Sepuluh Prinsip Perjanjian Global PBB (The Ten Principles of the UN Global Compact)

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Dunia Usaha dan Peran Serta Masyarakat, klik link di bawah ini untuk mempelajarinya dalam bentuk modul e-Learning interaktif atau pada teks di bawah ini.

REV 3 - Gratifikasi Island2-1


 


A. Definisi Masyarakat dan Korporasi

Peran serta dan partisipasi masyarakat dan korporasi sangat penting dalam proses pembangunan dan pengembangan Sistem Pengendalian Gratifikasi. Masyarakat yang dimaksud dalam konteks di sini secara umum adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TPK, dan PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPK.

 

Kembali ke atas



B. Definisi Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Korporasi yang dimaksud mengacu kepada definisi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999, yaitu “kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Korporasi mencakup: (1) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 40 Tahun 2007, (2) Yayasan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 dan perubahan-perubahannya, (3) Organisasi Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 17 Tahun 2013, (4) Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 dan perubahan-perubahannya, dan (5) bentuk-bentuk korporasi lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Kembali ke atas



C. Surat Edaran KPK kepada Sektor Swasta

KPK telah mengirimkan surat himbauan dengan Nomor: B-33/01-13/01/2014 tertanggal 7 Januari 2014 perihal Peran Serta Sektor Swasta dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi. Surat tersebut dikirimkan kepada Ketua KADIN Indonesia, para Ketua Asosiasi/Gabungan Himpunan yang tergabung dalam KADIN Indonesia, dan Pimpinan sektor swasta dan korporasi. Tujuan himbauan tersebut adalah untuk memperkuat Pencegahan tindak pidana Korupsi dan untuk meningkatkan kesadaran mengenai suap, gratifikasi, pemerasan atau uang pelicin kepada korporasi yang bersifat mencari keuntungan (profit). Substansi surat tersebut pada intinya adalah agar korporasi tidak memberi atau membiarkan terjadinya pemberian gratifikasi, suap, atau uang pelicin kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dan agar korporasi membentuk lingkungan yang bersih dengan meningkatkan integritas, pengawasan dan perbaikan sistem secara berkelanjutan.

 

Kembali ke atas



D. Bentuk Nyata Peran Masyarakat

1. Menolak permintaan gratifikasi dari pegawai negeri/penyelenggara Negara

Dalam proses pelayanan publik dan perizinan sering kali terdapat pegawai negeri/penyelenggara negara yang meminta sejumlah uang atau fasilitas tertentu. Permintaan tersebut dapat disertai atau tidak disertai ancaman terselubung untuk mempersulit proses menggunakan sarana birokrasi yang ada. Perbuatan yang dilakukan pegawai negeri/penyelenggara negara tersebut sesungguhnya adalah perbuatan pidana pemerasan seperti yang diatur di Pasal 12e Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kondisi tersebut masyarakat perlu memahami terlebih dahulu bahwa secara prinsip pegawai negeri/penyelenggara negara merupakan pelayan publik yang mengurusi kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya. Prinsip ini ditegaskan mulai dari konstitusi yakni prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan tersebut kemudian diturunkan pada lembaga-lembaga Negara dan pegawai-pegawai yang melakukan kerja penyelenggaraan Negara, mulai tingkat pusat hingga daerah yang paling bawah. Selanjutnya, masyarakat perlu mengetahui berapa biaya yang sah secara hukum yang harus dibayar untuk sebuah pelayanan. Hal ini memang secara seimbang juga harus menjadi kewajiban institusi pegawai negeri/penyelenggara negara untuk mengumumkan sedemikian rupa proses dan biaya dalam sebuah pelayanan yang harus dibayar masyarakat.

Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat semakin yakin menolak setiap permintaan gratifikasi ataupun pemerasan yang dilakukan pegawai negeri/penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik dan perizinan. Dalam hal masih terdapat paksaan, masyarakat mempunyai hak untuk melaporkan hal tersebut ke lembaga penegak hukum yang ada, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

2. Tidak memberikan gratifikasi

Budaya atau kebiasaan yang perlu dibangun dan dilembagakan di masyarakat adalah budaya atau kebiasaan menolak memberikan gratifikasi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara. Diperlukan kampanye yang masif dan berkelanjutan dengan pesan utama bahwa dengan tidak (menolak) memberi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara adalah wujud peran serta kongkrit masyarakat dalam pemberantasan Korupsi khususnya gratifikasi, suap, atau uang pelicin.

Menolak memberikan gratifikasi adalah langkah terpuji dan menghargai martabat Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara serta bukan berarti anggota masyarakat tersebut bersikap pelit atau bahkan berkekurangan secara materi. Contoh partisipasi sederhana adalah menolak untuk memberikan gratifikasi dalam bentuk barang, uang, atau bentuk lainnya kepada guru sekolah pada saat mengambil laporan (raport) anak walaupun orang tua/wali murid lain menganggap praktik tersebut sesuatu yang wajar. Orang tua/wali murid yang baik adalah yang menghargai martabat seorang guru dengan tidak merendahkannya melalui pemberian gratifikasi.

Hal kongkrit lainnya yang perlu dilakukan adalah dengan tidak merasionalisasi pemberian gratifikasi dengan mencadangkan sejumlah dana dalam pembukuan organisasi. Hal yang cukup lazim misalnya adalah pembentukan biaya pemasaran/promosi, biaya jamuan (entertaintment), biaya konsultasi, biaya overhead, dan biaya-biaya lainnya yang disamarkan dalam berbagai modus kegiatan.

 

Kembali ke atas



E. Bentuk Nyata Peran Sektor Swasta/Korporasi

1. Menyusun standar etika untuk internal & sektoral.

Dalam rangka membangun lingkungan korporasi yang bersih dan selalu menjunjung tinggi etika beserta nilai-nilainya, adanya standar etik berupa kode etik (code of ethic) dan/atau kode perilaku (code of conduct) adalah prasyarat mutlak (conditio sine qua non). Mengingat korporasi adalah kumpulan orang-orang yang memiliki pandangan, pendapat, pemahaman, ataupun keyakinan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang budaya, lingkungan, ataupun kepercayaan, keberadaan kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi tersebut akan lebih memudahkan orang-orang yang berada dalam suatu korporasi untuk membedakan apa yang baik atau yang tidak baik, yang patut atau tidak patut, dan bahkan yang etis atau tidak etis berdasarkan standar etika yang sudah disepakati dan ditetapkan. Praktik pemberian ataupun permintaan gratifikasi, suap, atau uang pelicin dapat dimasukkan dalam kode etik dan/atau kode perilaku dengan menguraikannya secara jelas sehingga mudah dipahami dan diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Selain kode etik dan/atau kode perilaku di internal korporasi, adanya kode etik dan/atau kode perilaku yang bersifat sektoral menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi pedoman bagi berbagai korporasi yang mempunyai sifat yang mirip atau sejenis sehingga antara korporasi tersebut akan saling menguatkan dalam menjalankan praktik bisnis atau non-bisnis yang sehat dan beretika. Untuk korporasi yang berusaha untuk mendapatkan profit dan tergabung dalam asosiasi, saat ini sudah cukup lazim adanya kode etik yang bersifat sektoral, beberapa diantaranya adalah: Kode Etik Asosiasi Konsultan Non Konstruksi Indonesia, Kode Etik Asosiasi Perusahaan Pemboran Migas, Kode Etik Asosiasi Perusahaan dan Asosiasi Profesi, Kode Etik Asosiasi Tenaga Teknik Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainnya.

KPK terus mendorong agar setiap korporasi dan asosiasinya menyusun dan menjalankan kode etik dan/atau kode perilaku sebagai panduan dan standar etik bagi setiap anggotanya dalam melaksanakan setiap aktivitas atau usahanya dalam koridor dan semangat good governance dan integritas.

2. Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi.

Adanya berbagai aturan di internal korporasi baik yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis (konvensi), termasuk kode etik dan/atau kode perilaku, akan semakin efektif dalam hal implementasi dan manfaatnya dengan adanya suatu unit pengendali gratifikasi (UPG). UPG tidak dipahami secara kaku berupa suatu unit khusus yang harus ada dalam struktur organisasi karena UPG dimaknai secara fungsional yang mana fungsinya melekat dalam fungsi pengawasan dan pembinaan.

Korporasi dapat memperkuat Satuan Pengawas Internal (SPI), Compliance Unit, Inspektorat, atau bagian lainnya yang memiliki fungsi pengawasan atau pembangunan tata kelola yang bersih untuk melaksanakan tugas-tugas pengendalian gratifikasi. Apabila ada pertimbangan lain, korporasi dapat juga membentuk unit khusus untuk melaksanakan tugas-tugas UPG.

Tugas-tugas minimal UPG yang dimaksud antara lain:

  1. melakukan sosialisasi pengendalian gratifikasi,
  2. melakukan koordinasi dengan unit atau bagian terkait terkait implementasi dan efektivitas pengendalian gratifikasi,
  3. melakukan identifikasi/Kajian atas titik rawan atau potensi gratifikasi,
  4. mengusulkan kebijakan pengelolaan, pembentukan lingkungan anti gratifikasi dan pencegahan korupsi di lingkungan Instansi, dan
  5. menerima laporan gratifikasi dari pihak internal dan mengkoordinasikannya dengan KPK.

3. Melaporkan upaya permintaan yang dihadapi swasta.

Dalam beberapa kesempatan terungkap bahwa pihak swasta/korporasi relatif lebih dapat mengendalikan praktik penerimaan gratifikasi terhadap pegawai atau pejabatnya. Yang menjadi tantangan adalah menghadapi upaya-upaya permintaan yang dilakukan khususnya oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara baik secara individual ataupun kelompok, misalnya dalam hal pengurusan Perizinan atau pemenuhan persyaratan administrasi. Timbul dilema etik antara memenuhi permintaan tersebut dengan harapan proses birokrasi atau administrasi menjadi lebih cepat atau tidak terhambat atau tidak memenuhi permintaan dengan risiko menghadapi prosedur berbelit yang mengakibatkan hilangnya peluang atau kesempatan bisnis atau peluang/kesempatan beralih kepada pesaing yang bersedia memenuhi permintaan. Sudah menjadi seperti rahasia umum bahwa beberapa badan usaha telah mencadangkan suatu dana sebagai “uang pelicin”, “overhead”, “entertainment”, dan bahkan yang bersifat off-book untuk memenuhi berbagai permintaan yang sudah diprediksi atau bahkan untuk tujuan menyuap.
Korporasi dan asosiasinya harus berpartisipasi secara aktif dan kongkrit terhadap praktik- praktik permintaan secara tidak sah yang dilakukan oleh Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara dengan melaporkannya kepada aparat penegak hukum, termasuk KPK. Praktik tidak tercela dan melanggar hukum tersebut harus secara cerdik dan tegas dilawan karena selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menyebabkan banalitas bagi oknum Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara tersebut.

 

Kembali ke atas



F. Manfaat Bagi Masyarakat

1. Layanan yang bebas pungutan.

Kampanye integritas yang terus-menerus dan disertai dengan keteladanan yang sungguh- sungguh oleh para stakeholder secara perlahan tapi pasti akan membangun budaya baru yang bersih, bermartabat, dan malu menerima atau memberi gratifikasi. Misalnya di negara Inggris terinternalisasi dengan sebutan “police in my heart”. Setiap stakeholder, khususnya yang memberikan pelayanan publik secara sadar menganggap bahwa pemberian layanan tersebut adalah sudah menjadi tugasnya dan adalah suatu kesalahan apabila menuntut pemberian atau menolerir pemberian dari masyarakat yang dilayani. Dampak langsung dan kongkrit adalah pelayanan menjadi transparan dan masyarakat dibebaskan dari berbagai pungutan tidak resmi dengan segala istilahnya.

2. Harga komoditas lebih terjangkau.

Dampak nyata sebagai ikutan dari pelayanan yang transparan dan bebas pungutan tidak resmi adalah turunnya harga barang atau jasa karena terus dipangkasnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang dikapitalisasi ke dalam komponen biaya barang/jasa. Harga barang/jasa yang semakin kompetitif akan meningkatkan daya saing sehingga barang/jasa yang diproduksi oleh pengusaha lokal/domestik dapat berkompetisi dengan barang/jasa yang diproduksi pihak asing. Masyarakat juga menikmati hal tersebut dengan meningkatnya daya beli uang yang dimiliki sehingga lebih banyak kebutuhan yang dapat dipenuhi dan bahkan sebagian bisa ditabung atau bahkan diinvestasikan kepada hal yang lebih produktif.

 

Kembali ke atas



G. Manfaat Swasta/Korporasi

1. Menurunkan biaya operasional.

Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan untuk biaya “tambahan atau pungutan liar” telah mencapai 11 persen dari biaya produksi (Sumber RPJMN). Hasil penelitian Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia pada Tahun 2013 menunjukkan besarnya biaya siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi. Dari data tersebut terlihat adanya peningkatan biaya operasional tidak resmi atau “biaya siluman” yang trennya terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tingkat Asia Tenggara (ASEAN), hasil penelitian LP3E menunjukkan bahwa biaya transaksi perizinan untuk memulai usaha di Indonesia lebih tinggi dibanding negara tetangga. Biaya transaksi perizinan untuk memulai usaha di Indonesia mencapai 17,9 persen dari pendapatan per kapita. Angka ini lebih tinggi dari Malaysia, 16,4 persen, dan Thailand yang hanya 6,2 persen.

Diterapkannya sistem pengendalian gratifikasi, suap, dan uang pelicin secara masif dan berkelanjutan diyakini dapat menekan dan menurunkan biaya operasional tidak resmi (biaya siluman) tersebut secara perlahan dan konsisten. Pengusaha bahkan dapat menikmati manfaat tambahan karena dapat mengalokasikan dana-dana tidak resmi tersebut untuk meningkatkan gaji tenaga kerjanya secara layak dan manusiawi sehingga hubungan industrial antara pengusaha dan tenaga kerja dapat menuju arah yang semakin produktif dan saling memuliakan.

2. Meningkatkan kepercayaan investor/mitra/konsumen.

Diimplementasikannya praktik bisnis yang bersih dan beretika secara transparan dan konsisten diyakini akan meningkatkan kepercayaan oleh para stakeholder kunci: investor, mitra, konsumen, pemerintah, dll. Investor dalam analisisnya meyakini bahwa hasil investasinya adalah hasil terbaik yang diberikan perusahaan. Mitra usaha mempunya alasan yang kuat untuk terus meningkatkan kerja samanya karena perusahaan memberikan harga terbaik karena beroperasi secara efisien. Konsumen menjadi loyal karena mendapatkan barang/jasa yang berkualitas dengan harga yang kompetitif. Pemerintah, misalnya aparat pajak, mendapatkan basis data yang jelas dan transparan atas perhitungan pajak yang harus diterima ke kas negara.

3. Meminimalisasi potensi kecurangan (fraud).

Terbangunnya sistem dan tata kelola yang bersih yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan keadilan (fairness) dengan berbagai perangkatnya, termasuk sistem pengendalian gratifikasi, secara empiris akan mempersempit dan meminimalisir terjadinya kecurangan (fraud). Sistem pengendalian gratifikasi akan efektif untuk meminimalisir terjadinya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) karena antar individu atau pihak tidak dibebani dengan pamrih atau ewuh pakewuh akibat pemberian-pemberian di masa lalu.

 

Kembali ke atas



H. Sepuluh Prinsip Perjanjian Global PBB (The Ten Principles of the UN Global Compact)

Keberlangsungan suatu perusahaan dimulai dengan adanya sistem nilai dan prinsip dalam melaksanakan bisnis. Hal ini berarti, minimal, suatu perusahaan memenuhi tanggung jawab dalam area HAM, tenaga kerja, lingkungan, dan anti korupsi. Perusahaan yang bertanggung jawab memberlakukan nilai-nilai yang sama dan prinsip di mana pun mereka berada, dan mengetahui bahwa praktik yang baik di satu area tidak akan memunculkan maslah di area lainnya. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip Perjanjian Global dalam strategi, kebijakan dan prosedur, dan budaya integritas, perusahaan tidak hanya menegakkan tanggung jawab dasar mereka kepada orang-orang dan dunia, tetapi juga menentukan keberhasilan jangka panjang.

Sepuluh Prinsip Perjanjian Global PBB berasal dari: Deklarasi HAM, Deklarasi Organisasi Buruh Internasional dalam Prinsip dan Hak Dasar dalam Bekerja, Deklarasi Rio dalam Lingkungan dan Perkembangan, dan Konvensi Lawan Korupsi PBB.

HAM

Prinsip 1: Perusahaan harus mendukung dan menghormati undang-undang HAM yang diakui internasional; dan
Prinsip 2: Pastikan perusahaan tidak terlibat dalam pelanggaran HAM.

Tenaga Kerja

Prinsip 3: Perusahaan harus menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan hak untuk berunding bersama;
Prinsip 4: penghapusan segala bentuk kerja paksa dan kewajibannya;
Prinsip 5: penghapusan pekerja anak; dan
Prinsip 6: penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.

Lingkungan

Prinsip 7: Perusahaan harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan;
Prinsip 8: menjalankan inisiatif untuk mengembangkan tanggung jawab lingkungan secara lebih luas
Prinsip 9: mendorong perkembangan dan difusi teknologi ramah lingkungan

Anti Korupsi

Prinsip 10: Perusahaan harus melawan korupsi dalam segala bentuk, termasuk pemerasan dan penyuapan.

Buku Indonesia Bersih Uang Pelicin

Kembali ke atas